Srikandi Bangsa


Sejak 5 Desember 1956
Pagi, Siang , Malam
Hingga Bergantinya Hari
Tak Pernah ada Letih
Terpancar di wajahnya
Dia Taburkan kami Semangat dengan Semangatnya
Tak Ada Kata tua
Walau dia sudah bercucu lima
Dia Srikandi yang selalu tampil Muda
Kami Memanggilnya Bunda

Bunda... semakin bertambah usiamu
Maka Selamat dan bahagia
Karena usiamu selau bermakna
Bukan hanya untuk Bangsa Indonesia
Tapi bahkan untuk dunia
Bunda …Doa kami untukmu
Semoga Allah Selalu Bersamamu
Memberimu Kesehatan dan Kesuksesan
Mengabulkan Semua Impian
Yang menjadi keinginanmu didalam kehidupan
Bambu Apus, 5 Desember 2007


Jumat, 25 Januari 2008

Anak Ibu Uga

KORAN TEMPO
Rabu, 7 Juli 2004
Amalia SiantiPemilu untuk memilih presiden yang pertama kali digelar di negeri ini, baru saja selesai. Seperti judul lagu Krisdayanti, Menghitung Hari, maka bisa dipastikan hari-hari selanjutnya merupakan saat yang mendebarkan bagi para calon presiden. Di hari-hari itulah suara mereka dihitung. Kendati pemilu sudah usai, selama kampanye kemarin ternyata ada kesan dan kenangan melekat pada seorang wanita berjilbab. Beberapa pekan lalu kami mendatanginya di sebuah rumah besar, asri di kawasan Bambu Apus, Jakarta. Dengan tutur kata serta tawa lepas ia tampak hangat menyambut dan meladeni wawancara. Amalia Sianti, nama wanita itu yang tak lain adalah putri sulung Wiranto yang sejak sebulan lalu sibuk kampanye calon presiden berduet dengan Solahuddin Wahid. Namanya disebut-sebut sebagai salah satu hal yang dipertimbangkan oleh sebuah partai berbasis Islam untuk mendukung Wiranto. Meski kemudian dukungan itu tak diberikan. "Sebagai anaknya, saya sangat hormat dan bangga memiliki bapak seperti beliau. Keputusan bapak mencalonkan diri sebagai presiden dibicarakan secara terbuka kepada kami keluarganya," kata Lia, nama panggilannya, membuka pembicaraan. Sepengetahuan Lia, pemberitahuan sang bapak terhadap soal penting ini dilempar ke forum keluarga belum lama. Tepatnya beberapa hari sebelum konvensi Golkar. Wiranto mulai serius mengumpulkan semua keluarga besar isteri, anak dan menantu lantas membicarakan masalah ini. Yang ia ingat, pertimbangan yang diajukan bapaknya dilandasi panggilan hati nuraninya setelah 30-an tahun berkarir di militer. Lia bersama ibu dan adik-adiknya mendukung sepenuhnya keinginan Wiranto. Caranya bukan dengan melibatkan diri sebagai tim sukses. Pastinya, berupa memberikan dukungan moral. Lia menyebut dukungan keluarga sebagai vitamin khusus buat bapak. Tugas keluarga sepintas berkisar soal kecil tampak sepele namun begitu penting. Lia, ibu, para menantu, ke dua adiknya Maya dan Inal yang bertugas mengingatkan kondisi dan kesehatan bapak, soal makan, istirahat, sholat dan sebagainya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini hanya terbahak kecil sambil angkat bahu waktu menjawab selentingan kabar tentang gerakan Lia menggali dukungan kampanye Wiranto ke kantong-kantong komunitas dirinya dan suaminya yang disebut-sebut anggota Partai Keadilan Sejahtera. "Kok bisa ya begitu?" tanyanya pendek. "Begini deh, saya memang menikah dengan suami saya Mas Abdi Setiawan Effendi. Dia kawan lama saya sejak di SMU 70 dan di kampus UI dulu. Setelah menikah saya pakai jilbab dan suami memang berpenampilan seperti santri. Tapi kenapa sih selalu dikaitkan begitu. Pokoknya saya no comment." Lia mengaku sudah terlatih menerima hembusan-hembusan macam begini. Makanya wanita berkulit putih ini tampak adem ayem sangat tenang menghadapinya. Ketika bapak mencalonkan sebagai presiden kepada dirinya, ibu, ke dua adik dan para menantu, Wiranto mengingatkan akan risiko dan tantangan. Keluarga harus sudah siap lahir batin menerima hembusan aneka berita bersifat isu, teror bahkan ancaman. Lia bertambah paham setelah berbagai hal-hal yang disebutkan bapaknya makin marak dan beragam begitu masa kampanye capres-cawapres berlangsung. Ia menyebut soal kasus gugatan Kivlan Zein, beradarnya video compact disk Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang disisipi kasus bapaknya, dan lain-lain. Secara terus-terang penyuka warna hitam ini mengisahkan pengalaman sebagai anak kolong membuatnya tahan banting hadapi kehidupan. Sejak kecil bapaknya memang sudah menerapakan sikap disiplin, keras, tegas namun tetap bersikap demokratis. Sebagai anak tentara yang terbiasa berpindah-pindah karena mengikuti bapaknmya bertugas, hal itu berdampak terhadap kepribadiannya. "Ada baiknya juga bagi pribadi saya, yakni saya mudah menyesuaikan diri, berteman atau bergaul tidak pandang bulu. Pokoknya sangat bermanfaat." Justru ia pernah bingung dan shock ketika pertama kali menetap di Jakarta. Ia bingung menghadapi lingkungan pergaulan yang jauh berbeda dari beberapa tempat sebelumnya. Yang ia ingat pesan supaya pintar menjaga dan membawa diri dalam pergaulan jangan terseret ke hal buruk, apalagi dirinya perempuan sangat mudah mendapat bahaya. "Saya bisa melewatinya semua." Ada kisah yang ia ingat ketika remaja dan pernah bolos sekolah bersama teman-teman sekelas. Lia berkelit tindakan membolos ini diambil karena loyalitas kepada semua teman yang melakukan hal itu. "Di mata bapak, tindakan saya tetap dicap salah besar lantas dihukum," katanya. Kisah lain yang pernah dialaminya ketika lulus SMU. Secara terbuka ia mengajukan diri kuliah ke fakultas hukum, padahal sejak awal ke dua orang tua memintanya masuk fakultas kedokteran. Lia sangat hormat ketika secara bapaknya memberikan restu sesuai argumentasinya. Hal yang sama terjadi saat ia menentukan calon suaminya. "Banyak berita tak sedap di luaran ketika pernikahan saya dengan Abdi yang bukan dari kalangan tentara. Bapak oke dan sangat care, menghormati pilihan saya. Sejak kecil, kami dilatih bapak bersikap sederhana, apa adanya. Karena itu saat saya bergaul dengan siapapun tidak pernah menyertakan nama bapak," akunya pelan. Teman-temannya baru tahu kalau ia anaknya Wiranto setelah ia mengajak mereka ke rumah. "Untuk hal-hal tidak penting saya paling tabu mengaku-aku anak Wiranto. Sebisa mungkin dalam bergaul orang kenal saya karena pribadi saya, bukan karena anak bapak. Mereka baru tahu sewaktu saya ajak ke rumah. Besoknya di kelas heboh, tapi saya tetap biasa saja," ujarnya mengenang masa SMU dulu. Lucunya, di masa pemerintahan Soeharto berjaya, Lia pernah diisukan bakal menikah dengan Dandy, putra Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Bersama mamanya, Uga Wiranto ia tertawa terbahak-bahak. "Gimana tidak ngakak, sebab saya belum pernah kenal atau bertemu dia apalagi menikah. Pun pergaulan ia dan saya berbeda. Ada-ada saja, makanya saya tidak terpancing diberitakan akan adanya suksesi besar lewat pernikahan putra-putri Tutut dan bapak," katanya. Dari suaranya masih terdengar kegeliannya. Isu dan omongan dari luar tidak mengganggunya. Seperti halnya ia tak bergeming pada 1997 ia menjadi anggota termuda MPR dari Fraksi utusan Golongan. Jabatannya ini dianggap sebagai bentuk nepotisme dan dikaitkan dengan jabatan bapaknya. Meskipun tuduhan itu terlihat benar, Lia beragumentasi di tahun itu pengangkatannya mewakili forum kepemudaan yang aktif digelutinya, yaitu FKPPI. "Tak banyak yang tahu soal itu. Saya pun malas meladeni pers yang menyudutkan saya, seperti halnya enam bulan kemudian saya mundur dari MPR. Saya tak mau gembar-gembor, buat apa? Ada kepuasan sikap. Itu nyatanya hal pertama saya lakukan, baru kemudian banyak anggota DPR lain melakukan hal sama," kilahnya dengan suara pelan. Ia memang terbiasa bersikap tenang dan tidak panik. Hal manis yang pernah ia rasakan semasa menjadi anggota termuda di MPR, ia pernah beberapa kali memimpin sidang, karena peraturannya sidang dibuka atau ditututp oleh anggota termuda dan tertua. Yang sulit dilupakan Lia dengan gayanya yang masih polos, apalagi ia belum menyelesaikan kuliah kok bisa jadi pimpinan sidang. "Ada perasaan campur antara percaya nggak percaya kok saya memimpin sidang. Yang saya rasakan belajar politik ya di MPR itu, walau singkat, rasanya tetap menawan sampai kapan pun," kata dia. Setelah menikah dan melahirkan anak pertama, ia berani mengambil keputusan besar untuk menjauhi dunia politik dan karier. Padahal sebelumnya ia sukses sebagai konsultan hukum di sebuah kantor pengacar kondang. Awalnya ia sempat bekerja sambil merawat putri pertamanya. Namun ia tidak tega manakala meninggalkan buah hatinya berangkat ke kantor. Di tempat kaerja pikirannya ingat si kecil. "Saya terbiasa mengerjakan sesuatu secara total. Sejak anak melahirkan pikiran jadi bercabang dua, makanya saya lebih condong pilih ke keluarga, mungkin ini memang sudah jalan hidup saya... Sekarang saya begitu menikmati jadi ibu, karena ingin menjadi universitas pertama bagi anak-anak saya." Bagi ibu dua anak itu setiap waktu memang tersita buat kelaurga. Ia sangat menikmatinya. Maka, tak mau ikutan repot walau banyak yang menawarkan dirinya terjun ke politik. Ia menggeleng mantap memilih tetap jadi isteri dan ibu. "Saya pribadi ikut senang kalau bapak menang sebagai presiden, artinya saya harus mendukung bapak melakukan tugas berat ini. Hal lain yang saya siapkan seandainya bapak kalah, ya kembali bercengkrama bersama anak-anak saya," ucapnya menutup pembicaraan yang panjang ini. hadriani p Amalia Sianti Lahir : Solo, 27 April 1976 Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1994–1999) Anak pertama dari tiga bersaudara Suami: Abdi Setiawan Effendi Anak : 1. Alifia Azzahra (1,5 tahun) 2. Muhammad Abdillah (tiga bulan) Aktivitas dan karier: 1. Ketua wanita dan Kepemudaan Forum Komunikasi Putra Putri Indonesia (FKPPI) (1996–1999) 2. Tenaga Sukarelawan di Yayasan Pendidikan Pesantren Al-Fat Gorontalo (1995–1999) 3. Anggota termuda MPR dari Fraksi Utusan Golongan (1997-mengundurkan diri setelah enam bulan) 4. Konsultan hukum di kantor hukum Hadiputranto, Hadinoto Partners, tahun 1999.

Uga Wiranto

Uga WirantoPengalaman First Lady TentaraTIDAK banyak yang berubah pada diri Rugaiya Usman Wiranto. Meskipun suaminya, Wiranto, menjadi salah satu capres dalam konvensi Partai Golkar, penampilannya tidak neko-neko. Soal fashion, misalnya, tidak ada yang spesial. Ia pun tak pernah fanatik pada merek dan rancangan desainer tertentu. "Asal pantas dan layak, wong istri prajurit kok macam-macam," kata Uga, begitu wanita berusia 48 tahun ini biasa disapa, berderai tawa.Wanita asal Gorontalo, Sulawesi Utara, yang dinikahi Wiranto pada 1975 itu boleh dibilang tidak melakukan kegiatan yang langsung berkaitan dengan pencalonan suaminya sebagai capres. Paling banter, kata ibu tiga anak --Lia, Maya, dan Zainal-- itu, mendampingi suami berkampanye ke daerah. Maklum, ia punya tugas lain: sebagai Ketua Palang Merah Indonesia DKI Jakarta dan Ketua Yayasan Al-Fath Wiragamulya, yang bergerak di bidang pendidikan.Yang rutin dilakukan Uga adalah mengondisikan kegiatan rumah tangga agar tidak mengganggu pencalonan suaminya. Selain iringan doa, seluruh anggota keluarga terlibat komunikasi intens. Usai salat subuh, mereka berbincang bersama sembari mendiskusikan langkah-langkah ke depan. "Seperti pertemuan keluarga rutin akhir pekanan," kata Uga. Dari diskusi itu, keluarga tahu bahwa pencalonan Wiranto semata-mata lantaran panggilan nurani, bukan yang lain.Uga tidak merasa perlu menyiapkan dirinya sebagai first lady Indonesia. "Saya kan pernah jadi first lady tentara," katanya, berseloroh. Bahkan, ia pernah merasakan menjadi istri ajudan presiden. Tapi, kata Uga, ia tak mau berandai-andai, bahkan terlintas dalam pikiran jadi first lady pun tak pernah terjadi. "Kalau jadi, baru?," kata Uga, diiringi tawa renyahnya.M. Agung Riyadi, Sujud Dwi Pratisto, Marya Onny, dan Arief Ardiansyah[Laporan Utama, GATRA, Edisi 20 Beredar Jumat 26 Maret 2004]

Pengungsi Tak Putus Dirundung Malang

Hasmawati duduk termenung di bawah tenda terpal warna biru. Korban gempa bumi dan tsunami ini baru saja menerima tenda, setelah dua hari tsunami memporakporandakan kampungnya, Desa Bulak Setra, Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat. Banyaknya jumlah pengungsi tidak sebanding dengan jumlah tenda yang tersedia, sehingga tidak semua pengungsi mendapat tenda untuk bernaung. “Yang kebagian ya kebagian, yang nggak ya nggak. Selimut, yang nggak kena bencana juga dikasih, yang kena bencana dikasih,” keluhnya.Desa Bulak Setra adalah perkampungan nelayan. Walaupun Hasmawati dan anggota keluarganya selamat, rumah dan seluruh harta bendanya raib disapu gelombang pasang. Selain Hasmawati, ada Mak Iyem. Suami Mak Iyem, Enting, meninggal akibat diterjang ombak pasang pada 17 Juli lalu. Mak Iyem yang kini menjanda harus menanggung beban tiga anak yang masih di bangku sekolah. “Sekarang mau empat malam, baru hari ini dapat tenda. Iya hari Kamis ini,” kata Mak Iyem geram.Hasmawati dan Mak Iyem hanyalah dua di antara sekitar 50.000 pengungsi korban gempa dan tsunami di pesisir pantai selatan Jawa. Mereka menyebar di 81 titik pengungsian. Para pengungsi itu hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Mereka tidak sempat membawa apa-apa, hanya pakaian yang melekat di badan. Tidur pun hanya di atas tikar, tanpa selimut untuk berlindung dari dinginnya angin malam. Bantuan makanan pun datang tidak menentu. Kalau beruntung, mereka mendapat jatah nasi bungkus tiga kali sehari. Tapi, sering kali mereka hanya mendapat sebungkus nasi dalam sehari.Sore itu mereka mendapat bantuan berupa sekarung beras. Namun, ironisnya beras itu tidak dapat diolah karena tidak ada peralatan ataupun bahan bakar untuk memasak.Seperti ketika terjadi bencana sebelumnya, Pemerintah Pusat selalu menjanjikan bantuan bagi rakyat. Kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menjanjikan bantuan bagi para pengungsi. Namun, untuk menangani bencana sedasyat dan korban sebanyak itu, Pemerintah Pusat hanya mengalokasikan dana Rp 1 miliar untuk tanggap darurat.“Untuk para pengungsi, beri pelayanan yang baik! Makanan jangan kurang, minuman jangan kurang. Yang diperlukan mereka kita penuhi,” kata Presiden.Tapi pernyataan Presiden itu tampaknya janji belaka. Kenyataannya, para pengungsi masih terlunta-lunta, meskipun Yudhoyono memberikan harapan yang begitu menyejukkan.Pemerintah Pusat meminta pemerintah daerah sebagai pelaksana tanggap darurat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ciamis sudah mencairkan dana Rp 5 miliar untuk tanggap darurat di wilayahnya. Pelaksanaan tanggap darurat ini dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis. Menurut Ketua DPRD Ciamis Jeje Wiradinata, penanganan pengungsi mulai berjalan dengan baik.“Hari ketiga ini penanganan lebih baik. Kita akan sempurnakan terus. Nanti sore kita akan evaluasi," kata Jeje.Namun, menurut relawan dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Pesisir (PPLP) Pangandaran, Adi Yuwono, bukan keterbatasan jumlah bantuan yang menyebabkan banyak pengungsi terlunta-lunta. Menurut dia, masalah utama adalah tidak meratanya pembagian bantuan.“Terdapat beberapa titik pengungsian yang masih belum terjangkau bantuan. Dan juga adanya ketimpangan distribusi bantuan dari Satkorlak di titik pengungsian tersebut,” Adi Yuwono menjelaskan.Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Penanganan Bencana Jawa Barat, Rendra Permana, mengatakan banyaknya penyebaran pengungsi mempersulit distribusi bantuan. Selain itu, Rendra menyalahkan Satkorlak pusat karena tidak mampu mensosialisasikan masalah secara efektif sehingga masyarakat ketakutan akan datangnya tsunami susulan. Rasa takut akan datangnya tsunami membuat jumlah pengungsi membludak. Padahal, semula para pengungsi hanya berada di 15 titik, kini menjadi 81 titik pengungsian. Menurut dia, tidak efektifnya penanganan bencana ini disebabkan oleh kebijakan penanganan bencana masih satu pintu. “Penyebaran pengungsi dari 15 titik menjadi 81 titik, karena adanya isu tsunami. Penyebaran pengungsi yang sampai ke pelosok-pelosok itu menyebabkan distribusi bantuan berjalan lambat dan sulit mencapai daerah pelosok-pelosok itu,“ papar Rendra Purnama.Lemahnya koordinasi memang merupakan masalah dalam menangani bencana. Menurut Uga Wiranto, Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta, lemahnya koordinasi dalam penangani bencana di pesisir selatan Jawa dipersulit oleh banyaknya pengungsi yang takut akan ada tsunami susulan, bukan hanya banyaknya korban tsunami.“Kendalanya saat ini adalah koordinasi. Membedakan masyarakat yang jadi korban, tidak memiliki apa-apa lagi, rumah sudah hanyut, pakaian tinggal di badan, dengan masyarakat yang masih punya tempat tinggal tapi takut karena isu tsunami lagi. Bentuk koordinasinya adalah pendataan yang realistis. Siapa saja yang mengungsi dan siapa saja yang betul-betul butuh bantuan,” kata Uga Wiranto.Setiap kali terjadi bencana, Pemerintah selalu kewalahan. Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai manajemen bencana yang baik, walaupun terdapat banyak sekali daerah rawan bencana di seluruh Tanah Air. Meskipun sudah setahun lebih Rancangan Undang-Undang Penanganan Bencana dibahas oleh DPR, nyatanya belum juga rampung. Padahal, RUU Bencana itu sangat diperlukan sebagai landasan hukum merancang manajemen bencana nasional. Walau bencana datang bertubi-tubi, walau banyak sekali korban yang tak segera tertangani secara layak, tampaknya Pemerintah tak juga belajar dari pengalaman. Dan, korban-korban bencana pun terus terlunta-lunta. (Widya Siska/E2)

Wiranto: Istri Saya Suka "Darah


BERBAGAI cara dilakukan juru kampanye (jurkam) agar orasinya menarik perhatian massa kader dan simpatisan, seperti dengan hiburan dangdut, musik rock, melontarkan lawakan atau cerita humor, dan masih banyak lagi.
Namun jurkam nasional dari Partai Golkar, H Wiranto, sedikit berbeda. Dia di samping punya kelebihan bernyanyi, juga bisa membuat massanya ketakutan. Akan tetapi, itu jika yang mendengar ceritanya adalah orang yang tidak mengerti jalan ceritanya.
''Istri saya ini namanya Uga. Dia pengawal pribadi saya yang sudah 30 provinsi mendampingi saya ikut kampanye Partai Golkar. Dahulu dia pernah menjadi salah satu pengurus DPD Golkar DKI Jaya. Namun sekarang, istri saya suka dengan darah manusia. Mirip dengan drakula.''
Celoteh ringan Wiranto itu, menurut pengamatan Suara Merdeka banyak membuat ibu-ibu yang sudah lanjut usia khususnya di Pekanbaru, Balikpapan, dan Medan terkejut. ''Ah, masa sih Bu Wiranto doyan darah?"
Namun ucapan Wiranto belum selesai. ''Kenapa istri saya suka darah manusia. Karena sekarang Uga menjabat sebagai salah seorang pengurus Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta. Jadi, kerjaannya mencari darah untuk didonorkan, bukan drakula benaran yang menghisap darah,'' tuturnya sambil disambut geeeer ibu-ibu lanjut usia.
Memang Uga Wiranto, saat Jakarta diserang penyakit demam berdarah, bersama pengurus lainnya hampir setiap hari sibuk membantu mencarikan darah untuk didonorkan ke pasien-pasien di sejumlah rumah sakit di Jakarta. Akibatnya, dia mendapat julukan suaminya sebagai wanita yang suka mencari darah manusia.
Selama mengikuti kampanye suaminya yang jurkam nasional dan juga capres konvensi Partai Golkar itu, Uga berbincang-bincang dengan para wartawam, stafnya, dan menyalami aparat Polri yang mengawalnya dengan mobil dan motor besar.
Wiranto sibuk dengan urusan kampanye, Uga sesaat turun dari kendaraan langsung menyalami aparat kepolisian sambil mengucapkan terima kasih. Istri Wiranto itu juga tidak segan-segan berbicara dengan penumpang lainnya saat berada di ruang tunggu Bandara Polonia Medan dan Bandara Achmad Yakni Semarang.(Bambang Usdeky HP-88j)
Harian Umum Suara Merdeka, 2 April 2004

Ny Uga Wiranto Promosikan Partai Hanura di Jarod

Partai Hanura mulai gencar melakukan promosi di daerah Sulut. Satu bukti, Kamis (15/02) kemarin partai yang dirintis oleh mantan Pangab RI, Jenderal (Purn) Wiranto ini menggelar kegiatan kunjungan lapangan di Kota Manado.Menariknya, kegiatan yang turut dihadiri oleh salah satu pendiri dan penaset partai, Ny Uga Wiranto yang adalah istri dari Wiranto ini justru dipusatkan di Jalan Roda (Jarod). Tak heran jika kehadiran Ny Uga Wiranto sempat mengundang perhatian warga, termasuk kalangan pengusaha dan tokoh politik yang kebetulan sedang bersantai ria menikmati kopi di lokasi yang dikenal dengan DPRD jalanan tersebut.Dari kalangan pengusaha nampak Hengky Wijaya, sementara dari kalangan politisi Vecky Kansil, kalangan akademisi Prof Wulur dan kalangan olahragawan Hengky Lasut.Ny Uga kepada Komentar mengatakan, visi Partai Hanura tidak lain menginginkan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sebab Partai Hanura melihat kondisi bangsa saat ini masih sulit untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat.Menurutnya, untuk menjadi pengurus Partai Hanura tidak mudah. Sebab selain harus memenuhi beberapa kriteria seperti berprestasi, berdedikasi dan loyal, seseorang yang ingin menjadi pengurus Partai Hanura juga harus memiliki hati nurani.Sebelum berkunjung ke Jarod, Ny Uga yang didampingi Korda Sulut, Vivian Dimpudus sempat memantau sejumlah posko Partai Hanura yang tersebar di Kota Manado, salah satunya yang berada di Kelurahan Ranotana.(ran)
Harian Komentar, 16 Februari 2007

Sosok Mahkota Calon Ibu Negara (2)

HINGGA memasuki pekan keempat masa kampanye Pilpres, hampir tidak ada yang berubah pada diri Rugaiya Usman Wiranto (Ny Uga Wiranto). Meski suaminya, Wiranto, menjadi Capres Partai Golkar bersama KH Solahuddin Wahid (Gus Solah) sebagai Cawapres, Uga Wiranto seperti tampak saat mendampinpi sang suami berkampanye di Makasar, Sulsel, Minggu (20/6), tetap saja tampil apa adanya, kalau tidak boleh dibilang sederhana.Sang suami, Wiranto, maju Capres setelah memenangi Konvensi Partai Golkar. Ia boleh dibilang satu-satunya Capres dalam Pilpres kali ini yang dipilih melalui prosesi konvensi.Penampilan Uga Wiranto yang rajin keliling daerah, termasuk Sumsel pada masa kampanye Pemilu Legislatif 5 April lalu, tidak aneh-aneh. Ia bukan tipe perempuan yang tampil serba wah dan gemerlap.Soal pakaian, misalnya, tampaknya tidak ada yang sangat spesial. Ia pernah mengaku tak pernah fanatik pada merek dan rancangan desainer kondang tertentu. “Yang penting pantas dan layak, wong istri prajurit (tentara) kok macam-macam,” ujar wanita berusia 48 tahun ini sambil berderai tawanya saat dijumpai beberapa waktu lalu.Wanita asal Gorontalo, Sulawesi Utara, yang akrab disapa Uga ini dinikahi Wiranto tahun 1975 itu sebenanrya bisa dikatakan tidak melakukan kegiatan yang berkaitan langsung dengan pencalonan suaminya sebagai Capres. Tapi, nyatanya ke mana pun suaminya berkampanye, ia selalu ada di sampingnya.Ibu tiga anak —Lia, Maya, dan Zainal— itu, setelah sebulan penuh pada kampanye Pemilu Legislatif lalu keliling daerah, kini sejak masa kampanye Pilpres 1 Juni lalu kembali lagi mengunjungi pelosok nusantara bersama suaminya.Sebelum ini, Uga aktif selaku Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta dan ketua Yayasan Al-Fath Wiragamulya, yang bergerak di bidang pendidikan.Meski kegiatan Uga seabreg, ia rutin mengondisikan kegiatan rumah tangga agar tidak mengganggu pencalonan suaminya sebagai Capres. Selain selalu berdoa, seluruh anggota keluarga terus berkomunikasi secara intens. Usai Shalat Subuh, biasanya mereka berbincang bersama sembari mendiskusikan langkah-langkah ke depan. “Mirip pertemuan keluarga rutin akhir pekan,” kata Uga. Dari obrolan ini pula, keluarga tahu pencalonan Wiranto sebagai Capres, semata-mata lantaran panggilan nurani, dan bukan karena yang lain. Untuk itu pula, Uga tidak menyiapkan diri secara khusus sebagai calon first lady Indonesia. “Saya ini sudah pernah menjadi first lady tentara (karena suaminya menjadi Pangab),” ungkapnya.Bukan hanya itu, Uga pernah pula merasakan menjadi istri ajudan presiden (kala itu Soeharto). Tapi, ungkap Uga, dirinya tak mau bermimpi atau berandai-andai, bahkan terlin-tas dalam pikirannya jadi first lady pun tak pernah. “Kalau nanti jadi beneran, boleh begitu,” aku Uga kalem.Suaminya sendiri sejak dulu dikenal sebagai jenderal bersuara merdu. Dan ternyata, di panggung politik mampu membuat kejutan, setidaknya setelah memenangi Konvensi Pemilihan Capres Partai Golkar ak-hir April lalu.Banyak kalangan tidak menduga, Wiranto tiba-tiba namanya melejit, menyisihkan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung dalam konvensi. Padahal, pada putaran pertama, suara Wiranto kalah dari Akbar dengan skor 137:147.Kemenangan Wiranto dalam konvensi dinilai banyak pengamat sebagai bukti kepiawaian mantan Pangab/Menhankam ini dalam melobi, menebar simpati, sehingga mampu menarik suara pendukung kandidat lain.Pria berpostur cukup tinggi dan selalu berpenampilan rapi kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 ini, tak lepas dari banyak gunjingan. Terakhir adalah dugaan keterlibatannya menerima kucuran dana BNI hasil pembobolan bank tersebut melalui L/C fiktif. Ia juga dikaitkan dengan pelanggaran HAM Timtim, tragedi Semanggi I dan II.Tapi, Wiranto selalu saja tampil dingin menjawab semua tuduhan itu. Ia tidak meledak-ledak. Bahkan dia menyatakan siap dikonfrontir dengan semua pihak yang menuduh dirinya terlibat berbagai macam gunjingan itu.Lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) 1966 ini pernah dipercaya menjadi Pangdam Jaya. Kemudian, dia dipromosikan menjadi Pangkostrad.Ia pernah menjabat Menko Polkam pada era Presiden Gus Dur. Nama Wiranto juga berkibar pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Dia pernah menjabat sebagai Menhankam/Panglima ABRI. Ia masih menjabat Menhankam/Panglima TNI pada era Presiden BJ Habibie. (sgn/ono/berbagai sumber)
Sriwijaya Post, senin 21 Juli 2004